Tawakal yang tidak diiringi dengan usaha termasuk cermin kekurangan dan buruknya agama seseorang. Sebagaimana kita ketahui, tawakal tidak bisa lepas dari iman dan Islam seperti penjelasan di atas.
▫Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Meninggalkan sebab-sebab (usaha dalam bertawakal) termasuk corengan terhadap syariat-Nya, sedangkan menyandarkan diri kepada sebab-sebab itu termasuk kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
▫Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Termasuk sebesar-besar kejahatan dalam agama adalah meninggalkan sebab (usaha) dan menyangka bahwa yang demikian itu termasuk meniadakan tawakal.”
(Syarah al-Qaulul Mufid, hlm. 62)
▫Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Barang siapa yang meninggalkan sebab/usaha (dalam tawakal) maka tawakalnya belum lurus. Namun termasuk dari kesempurnaan tawakal adalah tidak condong kepada sebab-sebab itu, memutuskan keterkaitan hati dari sebab-sebab itu.”
Kemudian setelah itu beliau mengatakan,
“Tidak akan tegak dan bernilai dalam menjalani usaha itu melainkan harus di atas tawakal.”
(Madarijus Salikin, 2/120)
Dalil yang menunjukkan bahwa tawakal itu harus dibarengi dengan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari sahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوْحُ بِطَاناً
“Bila kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana dia memberikan rezeki kepada burung; pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang.”
(Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami no. 5254)
No comments:
Post a Comment